PETERNAKAN BUDIDAYA BURUNG PUYUH
I . PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ternak puyuh merupakan salah satu jenis unggas yang memiliki prospek yang cukup baik untuk dikembangkan walaupun dalam pengembangannya masih ditemui hambatan diantaranya, tingginya angka kematian karena serangan penyakit Avian Influenza (AI). Pada tahun 2003, wabah AI muncul dan menyerang peternakan unggas skala besar (sektor 1 dan 2) yang pada akhirnya dapat dikendalikan dengan menerapkan Good Breeding Practice (GBP), Good Hatching Practice (GHP) dan biosekuriti. Untuk skala menengah (sektor 3) dan skala kecil (sektor 4) yang berada di pedesaan dan pemukiman perlu dilakukan upaya pengendalian yang optimal melalui kegiatan penataan usaha budidaya.
Penataan budidaya ternak puyuh dilaksanakan dalam rangka meningkatkan produksi dan produktifitas ternak puyuh, disamping sebagai pengendalian dan pencegahan penyakit Avian Influenza (AI). Hal tersebut sudah sesuai dengan rekomendasi Office International Epizooticae (OIE), sehingga sekaligus mendukung terpenuhinya persyaratan keswan dan perdagangan puyuh, Day Old Quail (DOQ) dan telur antar daerah.
Penataan diarahkan pada terselenggaranya usaha budidaya puyuh yang bebas dari penyakit, terutama penyakit AI. Budidaya puyuh lebih diarahkan pada pengembangan yang berbasis wilayah/kawasan dengan komoditas tunggal. Diharapkan usaha budiday puyuh dapat terselenggara secara efektif dan efisien disamping memberikan kemudahan dalam pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah.
Penataan budidaya puyuh didasarkan pada pengoptimalan penerapan prinsip Good Farming Practice (GFP) dalam suatu kawasan tertentu, disamping terkendalinya aktivitas pendukung lainnya baik pada aspek hulu, on farm, maupun hilir. Upaya penataan budidaya puyuh ke depan harus diikuti dengan upaya pelaksanaan cara memperoleh bahan dan memproduksi pakan yang baik yaitu Good Manufacturing Practice (GMP), dan juga cara penetasan yang baik yaitu Good Hatching Practice (GHP) untuk menghasilkan produk puyuh yang bermutu.
2. Maksud dan Tujuan
(1) Maksud
Maksud ditetapkannya pedoman penataan budidaya puyuh adalah sebagai acuan bagi Dinas peternakan atau dinas/instansi yang
4
membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan dalam melaksanakan kegiatan penataan budidaya dan pembinaan terhadap para peternak puyuh yang berada di kawasan pengembangan budidaya ternak puyuh.
(2) Tujuan
Penataan budidaya puyuh bertujuan untuk :
a. Menata usaha budidaya puyuh melalui pendekatan kelompok dan penerapan GFP.
b. Mencegah penyebaran penyakit AI melalui penerapan biosekuriti secara ketat.
c. Memudahkan bagi petugas pemerintah melakukan
pengawasan sehingga dapat mencegah berjangkitnya penyakit unggas.
3. Sasaran
Sasaran penataan budidaya puyuh ini adalah :
(1) Diterapkannya GFP pada kelompok peternak puyuh.
(2) Meningkatnya kesadaran peternak puyuh mengenai tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi kasus penyakit unggas.
4. Ruang Lingkup Pedoman
Ruang lingkup dalam penataan budidaya puyuh adalah pelaksanaan kegiatan mulai dari tahap persiapan seperti: 1) Sosialisasi, 2) penyiapan lokasi, penyiapan kelompok, 3) tatacara permohonan, 4) pelaksanaan,
5) penataan, 6) pendampingan, 7) biosekuriti, 8) pembiayaan, 9) pemberdayaan kelembagaan, 10) pembinaan, 11) pengawasan, 12) pelaporan.
5. Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari penataan budidaya puyuh adalah tertatanya usaha budidaya puyuh.
II. PERATURAN PENDUKUNG
Dalam penataan budidaya puyuh tidak terlepas dari upaya restrukturisasi perunggasan dan peraturan – peraturan perundangan yang berlaku sebagai berikut :
5
1. Undang-Undang
(1) UU Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pemerintah Daerah
(2) UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724)
(3) UU No 20 Tahun 2008 tentang usaha Mikro Kecil dan Menengah.
(4) UU No. 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
2. Peraturan dan Instruksi Presiden
(1) Peraturan Presiden No. 16/1977 tentang Usaha Peternakan
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1978 tentang Obat Hewan
(3) Peraturan Presiden No. 15/1999 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan Menular.
(4) Peraturan Presiden No. 22/1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner.
(5) Peraturan Presiden N. 44/1997 tentang Kemitraan
(6) Instruksi Presiden No. 1/2007 tentang Penanganan dan Pengendalian Virus Flu Burung (Avian Influenza)
(7) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tanggal 9 Juli 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82).
3. Keputusan Menteri Pertanian
(1) Keputusan Menteri Pertanian No. 940/Kpts/OT.210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian.
(2) Keputusan Menteri Pertanian No. 404/Kpts/OT.210/6/2002 tentang Pedoman Perijinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan.
(3) Keputusan Menteri Pertanian No. 240/Kpts/OT.210/4/2003 tentang Cara Pembuatan Pakan Yang Baik
(4) Peraturan Nomor 65/Permentan/OT.140/9/2007 tentang Pedoman Pengawasan Mutu Pakan.
4. Peraturan Menteri Pertanian
(1) Peraturan Menteri Pertanian No. 381/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner (NKV) pada Unit Usaha Asal Hewan.
(2) Peraturan Menteri Pertanian No. 50/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pemeliharan Unggas di Pemukiman.
(3) Peraturan Menteri Pertanian No. 06/Permentan/OT.140/1/2007 tentang Pembentukan Unit Pengendali Penyakit Avian Influenza (UPPP-AI) Regional.
6
(4) Peraturan Menteri Pertanian No. 05/Permentan/OT.140/1/2008 tentang Peraturan Budidaya Puyuh Yang Baik
(5) Peraturan Menteri Pertanian nomor 64/Permentan/9/2007 tentang Pedoman Pelayanan Pusat Kesehatan Hewan.
(6) Peraturan Pemerintah 38/2007 tentang Pengaturan Pemerintah Pusat , Pemerintah Daerah Provinsi dan Daerah KabupatenKota.
5. Surat Edaran Menteri Pertanian
Surat Edaran Menteri Pertanian No. 283/TU.210/M/1/2006 tentang Restrukturisasi Perunggasan.
6. Keputusan Direktur Jenderal Peternakan
(1) Keputusan Direktur Jenderal Peternakan No. 17/Kpts/PD.640/F/02 tentang Pedoman Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan AI pada Unggas.
(2) Keputusan Direktur Jenderal Peternakan No. 45/Kpts/PD.610/F/06 tentang Prosedur Operasional Standar (SOP) Pengendalian Penyakit Avian Influenza (AI) di Indonesia.
7. Pedoman-Pedoman
(1) Pedoman Umum Pemberdayaan Kelompok Peternak Aneka Ternak Melalui Fasilitasi Dana Tugas Pembantuan dan Dekon
(2) Pedoman Umum Pemeliharaan Unggas di Pemukiman
(3) Pedoman Umum Transfortation Practice (GTP)
(4) Pedoman Umum KKP-E, KUR
(5) Pedoman Good Handling Practice (GHP)
(6) Sensus Peternakan Nasional (SPN) Tahun 2009
III. PELAKSANAAN KEGIATAN PENATAAN
Prinsip pelaksanaan kegiatan penataan budidaya puyuh adalah menata dan menempatkan kegiatan budidaya pada suatu kawasan secara menyeluruh baik budidaya pada sentra produksi dan non produksi seperti pemeliharaan puyuh di sekitar pemukiman (backyard farming). Selain penataan pada aspek budidaya (on farm), juga dilakukan surveilans secara terprogram serta pengawasan lalu lintas bahan pakan, pakan unggas hidup dan produk unggas keluar masuk wilayah kegiatan.
7
Dinas peternakan atau Dinas/instansi yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan selanjutnya dapat mengajukan kawasan tersebut untuk dilakukan audit oleh Tim Auditor Direktorat Jenderal Peternakan. Untuk kawasan yang memenuhi persyaratan penataan dan telah dinyatakan bebas berdasarkan hasil audit dan surveilans, maka akan diberikan surat keterangan bebas AI oleh Direktorat Jenderal Peternakan.
Pada tahap awal, fokus kegiatan penataan budi daya puyuh yang berada di kawasan, agar usaha budi daya memenuhi prinsip tata cara budidaya puyuh yang baik atau Good Farming Practice (GFP). Usaha budidaya yang merupakan budidaya integrasi antara subsistem on farm, hilir dan hulu (usaha pembibitan).
1. Tahap Persiapan
Pada tahap ini Dinas Peternakan atau dinas/instansi yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten/Kota perlu membentuk tim teknis yang bertugas untuk melakukan hal sebagai berikut :
1) Sosialisasi
Sosialisasi secara bertahap dilakukan dengan melibatkan seluruh stakeholder serta pemerintah daerah setempat dengan materi sosialisasi antara lain :
a. Kegiatan penataan budidaya puyuh
b. Tata Cara Budidaya burung Puyuh Yang Baik (Good Farming Practice/GFP)
c. Pengendalian dan pemberantasan penyakit AI dan penyakit unggas lainnya.
d. Peraturan perundang-undangan terkait lainnya
e. Manfaat dilakukannya kegiatan penataan budidaya puyuh bagi para peternak yang berada di wilayah kawasan penataan.
2) Penyiapan Kawasan
Setelah sosialisasi dilakukan, selanjutnya Tim Teknis melaksanakan tugas sebagai berikut :
a. Melakukan identifikasi dan seleksi wilayah/kawasan sebagai lokasi kegiatan penataan budidaya puyuh dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
a) Menentukan wilayah untuk ditetapkan sebagai kawasan dengan dasar unit epidemiologik mempunyai batas alam.
b) Kawasan ditetapkan sebagai sentra pengembangan budi daya puyuh dengan mempertimbangkan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata Ruang
8
(RDTR) atas dasar potensi ketersediaan bahan pakan lokal.
c) Mengidentifikasi usaha budidaya puyuh, backyard dan menetapkan data dan informasi yang lengkap mengenai profil peternak puyuh.
b. Mengajukan/rekomendasi kawasan yang ditetapkan sebagai lokasi kegiatan penataan budidaya puyuh.
c. Dinas melakukan koordinasi dengan perusahaan yang ada di wilayah budidaya untuk melakukan pemberdayaan masyarakat melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) atau program perusahaan lainnya.
d. Kepala Dinas menetapkan kawasan tersebut sebagai lokasi kegiatan penataan usaha budidaya puyuh.
3) Penyiapan Kelompok
Setelah dilakukan penetapan wilayah kegiatan penataan, selanjutnya tim teknis mempunyai tugas untuk :
a. Melakukan inventarisasi dan identifikasi kelompok peternak puyuh calon penerima dana tugas pembantuan/bansos.
b. Melakukan seleksi kelompok peternak puyuh dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
(a) kelompok adalah kelompoktani peternak puyuh yang sudah
berpengalaman di bidang budidaya dan memiliki
kelembagaan yang kuat;
(b) kelompok diprioritaskan pada kelompok peternak puyuh yang telah melaksanakan kerjasama antara kelompok ternak atau memiliki jaringan dari hulu ke hilir sehingga keberlanjutan terjamin.
(c) kelompok diprioritaskan pada kelompok puyuh yang memiliki nilai proposal yang tinggi (penilaian berdasarkan rekomendasi tim teknis, yang kesesuaian proposal yang diusulkan dengan tujuan kegiatan);
(d) Kelompok bersedia melakukan usahanya secara terpadu, sehingga keterkaitan kegiatan dari pada aspek hulu kokoh.
(e) Kelompok bersedia menjadi kelompok inti dalam membina kelompok lain untuk mendukung pengembangan usaha budidaya puyuh di wilayah penataan.
9
c. Mengajukan kelompok peternak puyuh untuk ditetapkan sebagai kelompok peternak kegiatan penataan budidaya puyuh.
Selanjutnya Kepala Dinas menetapkan kelompok peternak penerima tugas pembantuan melalui Surat Keputusan.
2. Tata Cara Permohonan
Tata cara permohonan penataan budidaya puyuh diatur sebagai berikut :
(1) Kepala Dinas Peternakan mengajukan permohonan secara tertulis yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk dilakukan penilaian;
(2) Berdasarkan permohonan tersebut Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menugaskan Tim Penilai untuk melakukan pengecekan terhadap dipenuhinya persyaratan permohonan;
(3) Apabila seluruh persyaratan telah dipenuhi, maka dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah dipenuhinya persyaratan permohonan, Tim Penilai sudah harus mulai melakukan penilaian terhadap lokasi penataan budidaya puyuh;
(4) Apabila persyaratan yang diajukan oleh pemohon, ternyata tidak memenuhi persyartan, maka dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menginformasikan kepada pemohon untuk segera melengkapi kekurangan persyaratan yang ditentukan;
(5) Apabila dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari kerja sejak disampaikannya informasi kelengkapan tidak dipenuhi, maka permohonan penilaian dianggap ditarik kembali.
3. Tahap Pelaksanaan
Dinas Peternakan atau dinas/instansi yang membidangi fungsi peternakan atau kesehatan hewan bersama-sama dengan instansi terkait lainnya melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1) Penataan
Penataan budidaya puyuh pada tahap awal mengacu kepada RUTR dan RDTR.
Pada tahap awal kelompok budidaya yang difasilitasi melalui dana tugas pembantuan diarahkan untuk dilakukan penataan budidaya meliputi penerapan Good Farming Fractice (GFP). Untuk mendukung terlaksananya kegiatan penataan budidaya puyuh
10
tersebut pemerintah melalui dana konsentrasi/dekonsentrasi dapat mengalokasikan anggaran penataan usaha budi daya puyuh yang masuk kedalam Mata Anggaran Kegiatan (MAK) bantuan Sosial. Anggaran tersebut dapat dimanfaatkan kelompok peternak untuk pengembangan usaha peternakan budidaya puyuh.
Dengan demikian anggaran yang tersedia dapat dimanfaatkan untuk hal-hal sebagai berikut :
a. Pembuatan kandang/perbaikan kandang
b. Pengadaan ternak bibit
c. Bantuan pakan ternak
d. Pengadaan obat-obatan
e. Pembelian peralatan biosekuriti, peralatan kandang
f. Pengembangan kelembagaan kelompok peternak
g. Pengembangan SDM peternak
h. Fasilitasi advokasi/pembinaan dari tenaga ahli
i. Sarana pendukung lainnya yang diperlukan, seperti mesin tetas dan timbangan dsb.
Kandang puyuh puyuh jantan dan puyuh betina
2) Pendampingan
Pada saat dilakukan penataan, terutama hal yang terkait dengan pemanfaatan dana fasilitasi dari Pemerintah, Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan perlu melakukan pendampingan. Pendampingan dilakukan agar kelompok dapat memanfaatkan dana kegiatan penataan secara efisien dan kegiatan dilakukan sesuai pedoman.
3) Biosekuriti
Biosekuriti merupakan upaya untuk melindungi puyuh dari infeksi penyakit dengan menerapkan sanitasi dan usaha pencegahan lainnya. Tindakan biosekuriti dilakukan mengacu pada GFP.
IV. PEMBIAYAAN.
Kegiatan penataan budidaya puyuh ini dapat dibiayai melalui berbagai dukungan sumber pembiayaan, baik dari pemerintah, swasta dan masyarakat. Adapun pembiayaan yang bersumber dari pemerintah dapat berasal dari :
11
1. APBN (dana konsentrasi, dekonsentrasi, dan anggaran Tugas Pembantuan/TP) melalui bermacam kegiatan diantaranya LM3, SMD.
2. APBD ( Provinsi, Kabupaten/Kota),
3. Dana Masyarakat
Penataan budidaya puyuh secara teknis operasional merupakan tanggung jawab bersama semua stakeholder terkait, baik pusat maupun daerah. Program penataan sangat tergantung kepada sejauh mana komitmen pemerintah dan masyarakat di daerah dalam mendukung program ini yang dituangkan dalam bentuk kebijakan dan alokasi dana APBD.
Agar kegiatan penataan budidaya puyuh dapat berjalan baik, maka harus tersedia peraturan tentang mekanisme penataan, juga diperlukan pendanaan yang memadai untuk melakukan proses penataan. Untuk mempercepat terlaksananya proses penataan, diperlukan adanya koordinasi dan sinkronisasi semua pihak terkait, termasuk pemanfaatan dana sehingga terjadi sinergi secara maksimal.
V. PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN.
Untuk mendukung kegiatan penataan budidaya puyuh dibutuhkan peran kelermbagaan sebagai berikut :
1. Mendorong dan membimbing para peternak yang semula berusaha sendiri (usaha rumah tangga) agar mampu bekerjasama dibidang ekonomi secara berkelompok. Usaha tetap dijalankan di masing-masing keluarga, sedangkan aspek yang dikerjasamakan dalam kelompok.
2. Menumbuhkan gabungan kelompok yang usahanya sejenis atau sering juga disebut sebagai asosiasi, misalnya peternak ayam atau puyuh dan sebagainya.
3. Kelembagaan lain yang akan terus didorong perkembangannya adalah kelembagaan yang akan meningkatkan peran serta peternak rakyat menjadi gabungan kelompok peternak, gabungan para peternak mandiri, asosiasi peternak puyuh atau koperasi serta kelembagaan berbadan hukum lainnya.
Pemberdayaan kelembagaan ini dapat dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan daerah dan masyarakat dalam bentuk :
a. Peningkatan pemahaman dan keterampilan melalui :
(a) Usaha peternakan komoditi lain selain puyuh (ayam, itik, kelinci, sapi, domba)
(b) Keterampilan sederhana bagi masyarakat untuk peningkatan pendapatan
(c) Manajemen kesehatan puyuh
12
(d) Pembuatan proposal kredit perbankan
(e) Manajemen pengelolaan kelompok peternak
(f) Pengamatan dan pelaporan penyakit
b. Penyerapan tenaga kerja dari masyarakat sekitar pada usaha pembibitan/budidaya puyuh di wilayah penataan.
c. Mengikutsertakan anggota kelompok pada kegiatan pembuatan pupuk dari kotoran puyuh.
d. Pelayanan peternakan, pelayanan kesehatan hewan dan bimbingan teknis pada masyarakat sekitar.
VI. PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PELAPORAN
1. Pembinaan
Pembinaan dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan), Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Disamping itu pembinaan juga dapat dilakukan oleh lembaga non pemerintah seperti swasta dan masyarakat.
2. Pengawasan.
Pengawasan kegiatan penataan budidaya puyuh terdiri dari pengawasan internal, pengawasan eksternal dan pengawasan partisipatif, yaitu :
(1) Pengawasan internal dilaksanakan oleh Dinas Peternakan kabupaten/Kota atau Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten/Kota secara berkala paling kurang 3 (tiga) bulan sekali pada titik kritis dengan cara memantau perkandangan, biosekuriti dan vaksinasi untuk dilakukan sebagaimana mestinya.
(2) Pengawasan eksternal dilaksanakan oleh Dinas Peternakan Provinsi setempat secara berkala paling kurang 6 (enam) bulan sekali, oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan kesehatan Hewan paling kurang 1 (satu) tahun sekali atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Pengawasan ini dilakukan baik melalui bimbingan langsung maupun pengawasan terhadap perkandangan, biosekuriti dan vaksinasi.
(3) Pengawasan partisipatif dilaksanakan oleh masyarakat, terhadap lalu lintas puyuh dari dan ke wilayah yang telah dilakukan penataan, dan penerapan Good Farming Practice (GFP) puyuh.
13
3 Pelaporan
Untuk memudahkan evaluasi kegiatan penataan budidaya puyuh diperlukan data dan informasi yang diperoleh melalui pelaporan, dengan ketentuan sebagai berikut :
(1) Setiap pelaku usaha peternakan puyuh harus membuat laporan tertulis secara berkala paling kurang 3 (tiga) bulan sekali kepada Dinas Peternakan kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Dinas Peternakan Provinsi dan Direktorat Budidaya Ternak .
(2) Selain pelaporan tersebut diatas, setiap pelaku usaha perunggasan harus melaporkan setiap kejadian penyakit yang diduga Avian Influenza (AI) yang bersifat darurat kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan tembusannya kepada Dinas Peternakan Provinsi dan Dinas Peternakan Kabupaten/Kota.
VII. PENUTUP
Pedoman ini bersifat dinamis dan akan disesuaikan kembali apabila terjadi perubahan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
DIREKTORAT BUDIDAYA TERNAK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar